Saat menulis
ini, aku tak bisa menjelaskan apa wacana hatiku. Bahkan untuk membaca novel pun
tidak ku pahami isi dari ceritanya, mataku tertuju pada kata demi kata pada
novel karangan Tere-Liye, namun hati dan pikiranku memikirkan dia dan ‘hubungan kita’.
Dia yang selama hampir sembilan bulan
ini mengisi hari-hariku (meskipun dalam jarak ratusan kilometer) , mengucapkan
selamat pagi dan selamat tidur, menjadi penyemangat keseharianku, menjadi
“musuh” dalam kesukaan klub sepak bola (dia
suka madrid, dan aku suka barcelona), dia
yang selalu menjadi pemerhati nomer satu selain keluargaku.
Satu minggu
terakhir ini, semua kemanisan itu seakan berubah, berawal dari dia tidak mengirimkan pesan singkat satu hari, aku juga melakukan
hal sama. Satu hari berikutnya, sama. Tiga, Empat, hingga delapan hari
terhitung hari ini, dia tidak kunjung nampak di layar monitor HP ku. Aku merasa dia
sudah berubah. Apa yang salah dengan hubungan ini? Apakah karena ada JARAK yang
menghambat kita, termasuk perasaan
dan hati kita? Kurasa begitu, karena JARAk intensitas tatap muka kita minim
bahkan bisa dibilang sangat minim sekali.
Bukankah suatu perasaan sayang tidak
hanya lewat tatap muka, justru hati yang seharusnya ‘berbicara’. Sayang?
aku tak tahu apa sebenarnya perasaanku padanya, sampai detik ini pun, aku belum
mengerti arah hatiku berjalan kemana. Yang jelas, aku bahagia saat menerima
perhatian darinya.
Keputusan ini
akhirnya yang ku buat, aku enggan lama-lama penasaran dengan dirinya yang entah sedang melakukan apa
disana. Keputusan yang benar-benar memerlukan keberanian tingkat tinggi
(bagiku), sekedar untuk mengetikkan huruf pada keypad HP seakan ku tak
mampu, kalimat demi kalimat yang kurasa sudah cukup tepat kuketik. Inti dari
kalimat panjang tersebut yaitu aku ingin
hubungan kita berakhir sampai disini atau istilahnya PUTUS. Secepat inikah
hubungan ini berakhir? Namun perasaanku padanya apakah sama juga akan berakhir?
Sekali lagi, aku tidak tahu.
Setelah ku
kirimkan pesan singkat (menghabiskan 320 karakter sebenarnya), aku menunggu
balasan darinya. Satu jam, belum juga dia membalasnya. Mengapa dia ‘senang’ menggantungkan perasaanku?
Tak tahu apa, disini aku galau menunggu
kalimat yang keluar darinya. Bagaimana jika dia
tidak ingin membalasnya? hatiku semakin kacau, bingung, bimbang, gundah
gulana, apalah itu istilahnya. Apakah pesanku tidak terkirim? Apakah dia mengganti nomor Handphonenya? Atau Apakah dia
sudah menghapus nomorku dari Handphonenya?
Atau Apakah dia marah lantas tidak
ingin membalasnya? Atau Apakah dia sudah
tak mengganggapku lagi selama delapan hari ini?. Kemungkinan-kemungkinan itu
belum bisa kupastikan hingga saat ini. Semoga beberapa menit lagi kemungkinan itu
tejawab entah benar atau tidak mengenai dugaan-dugaanku diatas. Hingga aku memposting tulisan ini, tak ada jawaban
dari segala tanyaku yang ia jawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar